Teropongpost, GARUT ,— Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Garut pada Senin (17/11/2025) yang seharusnya menjadi forum sakral lahirnya kebijakan publik, justru berubah menjadi panggung ironi. Agenda pembacaan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) serta Rancangan APBD 2026 yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas terganggu oleh pemandangan memalukan: pejabat sibuk dengan ponsel, menguap, bahkan tertidur pulas.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana anggaran tahunan pemerintah daerah di Indonesia, yang menguraikan perkiraan pendapatan dan pengeluaran yang direncanakan untuk satu tahun anggaran. APBD dibahas dan disetujui oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta ditetapkan melalui peraturan daerah. Tujuan APBD adalah untuk membantu pemerintah daerah dalam mencapai tujuan keuangannya, mengoordinasikan kegiatan daerah, dan memastikan penyediaan barang dan jasa publik yang efisien dan adil.
Ruang sidang yang mestinya menjadi arena dialektika dan pertarungan gagasan mendadak menyerupai ruang tunggu. Bukan hanya kursi yang kosong, tetapi pikiran pun tampak kosong. Alih-alih memperhatikan arah kebijakan keuangan daerah, sejumlah pejabat larut dalam aktivitas yang sama sekali tidak mencerminkan etika penyelenggara negara.
Ironi setelah pengesahan kode etik
Beberapa hari sebelumnya, DPRD Kabupaten Garut baru saja mengesahkan Kode Etik dan Tata Beracara Badan Kehormatan (BK) yang menegaskan profesionalitas dan kewibawaan lembaga legislatif. Ironisnya, pelanggaran etika justru terjadi di ruang sidang, bahkan sebelum tinta pengesahan kode etik benar-benar kering.
Seorang anggota DPRD dari Fraksi Golkar tertangkap kamera asyik memainkan ponsel di tengah pemaparan materi strategis. Tidak jauh darinya, Kepala Dinas Pendidikan terlihat tertidur, sementara kolega lainnya sibuk mengusap layar gawai.
“Ini rapat penting. Harusnya fokus, bukan main HP scroll-scroll, apalagi tidur saat sidang,” ujar seorang peserta rapat yang gerah melihat kelengahan para pejabat.
Kontras sikap pimpinan dan peserta
Di barisan depan, Bupati Garut bersama pimpinan DPRD tetap serius membacakan dokumen strategis yang akan menentukan arah pembangunan tahun anggaran 2026. Kontras itu semakin menegaskan lemahnya budaya kerja di ruang parlemen daerah.
Dalam ketentuan yang baru disahkan, perilaku semacam ini seharusnya dapat diproses melalui mekanisme Badan Kehormatan. Anggota dewan yang melanggar etika bisa dipanggil, dimintai klarifikasi, hingga diganjar teguran resmi. Namun pada sidang kali ini, pimpinan tidak memberikan teguran langsung.
Pertanyaan publik
Insiden tersebut kembali menegaskan pertanyaan klasik: untuk siapa sebenarnya ruang paripurna diselenggarakan? Untuk rakyat atau sekadar formalitas rutinitas bagi pejabat yang hadir tanpa komitmen?
Sidang tetap berlanjut sesuai agenda, mengurai pokok-pokok kebijakan daerah, prioritas pembangunan strategis, hingga proyeksi alokasi anggaran. Namun kejadian ini memperlihatkan bahwa pengesahan kode etik lebih tampak sebagai pemenuhan tuntutan publik agar terlihat aspiratif, bukan cerminan kesungguhan DPRD bekerja secara etik dan bermartabat.
Jika ruang sidang saja tak dihargai, bagaimana rakyat bisa berharap kebijakan yang lahir dari sana benar-benar berpihak pada kepentingan mereka?







