Teropongpost, Jakarta,- Komisi Percepatan Reformasi Polri yang baru saja dibentuk Presiden adalah langkah besar dan penting. Pembentukan komisi ini lahir dari kesadaran bahwa reformasi institusi kepolisian tidak bisa lagi ditunda. Terlalu banyak persoalan akumulatif—kewenangan yang berlebihan, tata kelola yang belum modern, integritas yang belum merata, hingga layanan publik yang belum memenuhi standar negara maju—yang menuntut perubahan mendasar.
Namun langkah besar ini berhadapan dengan kenyataan bahwa sejak hari pertama, komisi ini terjebak dalam krisis kepercayaan publik. Banyak elemen masyarakat memandang komisi ini belum merepresentasikan suara rakyat dan belum menunjukkan keberpihakan kepada transparansi.
Puncak kekecewaan itu muncul ketika Komisi menolak permohonan audiensi dari Tersangka Roy Suryo dan kawan-kawan. Status hukum Roy Suryo memang tidak mengubah kedudukan komisi. Tetapi cara komisi merespons permohonan audiensi itu telah menimbulkan tafsir publik yang tidak menguntungkan: seolah-olah komisi alergi kritik, menutup pintu aspirasi, dan tidak siap mendengar pengalaman warga terkait proses hukum di tubuh Polri.
Dalam konteks reformasi institusi yang bekerja untuk publik, keputusan itu menjadi simbol yang tidak tepat.
Reformasi yang Tidak Boleh Eksklusif
Kita harus kembali mengingat bahwa reformasi kepolisian adalah reformasi untuk rakyat, bukan semata-mata penataan internal organisasi. Karena itu ruang dialog, transparansi, dan pembelajaran dari pengalaman masyarakat adalah pilar utamanya.
Reformasi struktural dan kultural hanya akan bermakna jika ditopang oleh:
1. civilian oversight yang kuat,
2. keterlibatan masyarakat sipil,
3. partisipasi mereka yang bersentuhan langsung dengan proses hukum,
4. keberanian moral untuk mendengar suara, bahkan dari mereka yang sedang menghadapi persoalan hukum.
Dengan demikian, menolak audiensi—baik terhadap Roy Suryo maupun pihak lain—menyampaikan pesan yang salah. Komisi ini harusnya membuka pintu selebar-lebarnya untuk mendengar, bukan menutupnya.
Dalam praktik reformasi kepolisian di berbagai negara demokrasi, pengalaman korban salah tangkap, pelapor penyimpangan, dan para pihak yang merasa dirugikan menjadi sumber informasi paling penting untuk menata ulang prosedur, kewenangan, dan kultur aparat penegak hukum.
Komposisi yang Perlu Diperkuat
Kritik publik sesungguhnya bukan hanya karena penolakan audiensi tersebut. Lebih penting lagi, masyarakat menyoroti komposisi komisi yang dinilai “terlalu elitis” dan sangat kental dengan figur internal Polri—baik Kapolri aktif maupun beberapa mantan Kapolri.
Bagi publik, reformasi tidak boleh dilakukan oleh lingkaran yang sama yang selama ini berada dalam struktur lama. Harus ada suara independen, suara akademisi, ahli HAM, ahli hukum acara, penggiat korupsi & transparansi, dan kelompok masyarakat sipil. Tanpa itu, komisi akan dipersepsikan hanya sebagai “ruang rapat elite”.
Kepercayaan publik hanya lahir bila komisi berdiri sebagai wasit yang adil, bukan sebagai bagian dari sistem yang hendak dievaluasi. Oleh karena itu, penambahan unsur independen menjadi kebutuhan mendesak.
Saatnya Komisi Membuka Pintu Publik
Komisi ini sejatinya tidak hanya bertugas menyusun roadmap atau kajian teknis. Ia harus menjadi jembatan kepercayaan antara negara dan rakyat. Karena itu komisi harus segera:
1. Membuka ruang audiensi reguler untuk masyarakat umum, termasuk mereka yang tengah atau pernah berperkara, sejauh tidak mengganggu proses hukum.
2. Menyusun agenda kerja 100 hari yang konkret, terutama terkait layanan publik, seperti : SIM, STNK, SP2HP, rekam perkara, hingga transparansi penyidikan.
3. Membuat laporan berkala yang terbuka, sehingga publik dapat mengawasi apakah komisi bekerja efektif atau tidak.
4. Mengundang akademisi dan kelompok sipil sebagai mitra diskusi resmi, bukan sekadar pendengar pasif.
Di era keterbukaan informasi, komisi tidak boleh menjadi ruang gelap. Justru dengan membuka diri, resistensi publik akan melemah dan legitimasi komisi menguat.
Reformasi Adalah Kepercayaan
Reformasi kepolisian bukan sekadar menyusun dokumen atau menata struktur. Ia adalah proyek moral, proyek peradaban, dan proyek menata ulang hubungan negara dengan warganya. Semua itu berakar pada satu kata: kepercayaan.
Keputusan menolak audiensi Roy Suryo dkk, betapapun alasannya, telah memberikan sinyal yang kurang tepat. Komisi harus segera memperbaiki arah dan menunjukkan bahwa ia siap mendengar siapa pun—bahkan suara yang paling kritis sekalipun.
Karena pada akhirnya, reformasi Polri hanya akan berhasil jika masyarakat percaya bahwa perubahan memang sedang terjadi. Dan kepercayaan hanya akan tumbuh di ruang yang terbuka.







